Kamis, 24 Oktober 2013

Berbicara Atau Mendengar?

Setelah resmi menjadi calon tetap anggota legislatif 2014-2019 yang disahkan oleh KPU, maka aku harus, mau tidak mau, bekerja mengusahakan semaksimal mungkin dengan sumber daya yang aku punya dan relakan untuk kuinfaqkan, kupersembahkan, kuabdikan kepada negaraku tercinta, untuk sosialisasi diri, memaparkan program, dan silaturrohim dengan masyarakat, dengan konstituen, dengan harapan mereka bisa memutuskan memilih wakilnya di DPRRI dengan pertimbangan yang matang dan rasional.

Aku sangat berharap pemilu 9 April 2014 nanti akan menjadi momentum yang indah kembalinya negriku ke arah yang semakin cerah dengan terpilihnya para wakil rakyat yang benar-benar memikirkan negaranya, bangsanya, rakyatnya, dan bukan memikirkan partainya, golongannya, keluarganya, dirinya sendiri. Aku ingin, dan aku pribadi meniatkan diri, nawaitu, begitu terpilih dan dinyatakan secara resmi sebagai wakil rakyat, maka aku adalah wakil rakyat Indonesia yang bekerja demi rakyat bos yang kuwakili kepentingannya, karena merekalah pemegang saham negara ini, kepada merekalah aku bekerja, dan sekaligus merekalah yang membayar gajiku sebagai wakil rakyat. Kepada merekalah aku bertanggungjawab selain pada Yang Maha Segala tentunya.

Karena keterbatasanku terutama dalam hal dana, dan juga kemampuan berkata-kata, apalagi menjanjikan sesuatu yang belum tentu aku bisa penuhi, maka aku memilih untuk tidak banyak berbicara, tidak banyak menjanjikan apalagi hal yang absurd. Aku hanya mendengarkan apa yang diinginkan rakyat, konstituenku, apabila aku nanti terpilih menjadi wakil mereka. Aku akan memperjuangkan kepentingan rakyatku, bangsaku, demi kemajuan negaraku, sesuai aturan yang ada.

Ya........aku memilih mendengar daripada berbicara.

Rabu, 23 Oktober 2013

Mengibarkan Bendera Setengah Tiang


30 September biasa diperingati sebagai hari berkabung nasional, pemberontakan Gerakan 30 September (G30S).  Gerakan 30 September (dahulu juga disingkat G 30 S PKI, G-30S/PKI), Gestapu (Gerakan September Tiga Puluh), Gestok (Gerakan Satu Oktober) adalah sebuah peristiwa yang terjadi selewat malam tanggal 30 September sampai di awal 1 Oktober 1965 di mana enam perwira tinggi militer Indonesia beserta beberapa orang lainnya dibunuh dalam suatu usaha percobaan kudeta yang kemudian dituduhkan kepada anggota Partai Komunis Indonesia.

Keenam pejabat tinggi yang dibunuh tersebut adalah:
  • Letjen TNI Ahmad Yani (Menteri/Panglima Angkatan Darat/Kepala Staf Komando Operasi Tertinggi)
  • Mayjen TNI Raden Suprapto (Deputi II Menteri/Panglima AD bidang Administrasi)
  • Mayjen TNI Mas Tirtodarmo Haryono (Deputi III Menteri/Panglima AD bidang Perencanaan dan Pembinaan)
  • Mayjen TNI Siswondo Parman (Asisten I Menteri/Panglima AD bidang Intelijen)
  • Brigjen TNI Donald Isaac Panjaitan (Asisten IV Menteri/Panglima AD bidang Logistik)
  • Brigjen TNI Sutoyo Siswomiharjo (Inspektur Kehakiman/Oditur Jenderal Angkatan Darat)
Jenderal TNI Abdul Harris Nasution yang menjadi sasaran utama, selamat dari upaya pembunuhan tersebut. Sebaliknya, putrinya Ade Irma Suryani Nasution dan ajudan beliau, Lettu CZI Pierre Andreas Tendean tewas dalam usaha pembunuhan tersebut.

Selain itu beberapa orang lainnya juga turut menjadi korban:
  • Bripka Karel Satsuit Tubun (Pengawal kediaman resmi Wakil Perdana Menteri II dr.J. Leimena)
  • Kolonel Katamso Darmokusumo (Komandan Korem 072/Pamungkas, Yogyakarta)
  • Letkol Sugiyono Mangunwiyoto (Kepala Staf Korem 072/Pamungkas, Yogyakarta)
Para korban tersebut kemudian dibuang ke suatu lokasi di Pondok Gede, Jakarta yang dikenal sebagai Lubang Buaya. Mayat mereka ditemukan pada 3 Oktober.

 Sesudah kejadian tersebut, 30 September diperingati sebagai Hari Peringatan Gerakan 30 September (G-30-S/PKI). Hari berikutnya, 1 Oktober, ditetapkan sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Pada masa pemerintahan Soeharto, biasanya sebuah film mengenai kejadian tersebut juga ditayangkan di seluruh stasiun televisi di Indonesia setiap tahun pada tanggal 30 September. Selain itu pada masa Soeharto biasanya dilakukan upacara bendera di Monumen Pancasila Sakti di Lubang Buaya dan dilanjutkan dengan tabur bunga di makam para pahlawan revolusi di TMP Kalibata. Namun sejak era Reformasi bergulir, film itu sudah tidak ditayangkan lagi dan hanya tradisi tabur bunga yang dilanjutkan.

Nah....Princessku pun kuajari bagaimana mengibarkan bendera setengah tiang. Dia sendiri yang mengikat bendera, lalu menaikkannya penuh satu tiang, baru kemudian diturunkan kembali sampai setengah tiang.

Selesai mengibarkan bendera, tentu saja dia memberikan hormatnya sebelum berangkat ke sekolah.

Mengibarkan bendera, memberi hormat, adalah salah satu caraku menanamkan nasionalismenya. Semua berlianku akan berdiri dengan khidmad, meletakkan tangan kanannya di dada kiri, jika menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya.

Nasionalisme  sederhana, namun penting ditanamkan pada setiap anak bangsa sejak kecil. Karakter bangsa sangat diperlukan jika kita ingin masa depan bangsa aman. Karena Indonesia 30 tahun mendatang ditentukan oleh bagaimana kita menyiapkan anak-anak sekarang.